Powered By Blogger

Senin, 02 Januari 2012

MAKALAH SULHU DAN WAKALAH

Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt., karena atas karunianya tugas makalah mata kuliah Fiqih Siyasah dan Muamalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini berisi tentang “ASH-SHULHU (PERDAMAIAN)”.
Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah (akad, transaksi) dalam berbagai bidang. Karena masalah muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing, sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu. Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu kami berharap bapak guru dapat memberikan saran dan kritiknya demi kesempurnaan makalah ini.
Dengan ini juga kami berharap yang sebesar-besarnya agar makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin…



Daftar Isi
Kata Pengantar ……………………………………………………………………i
Daftar Isi ………………………………………………………………………… ii
BAB I. Pendahuluan
A. Latar Belakang ……………………………………………………………1
B. Tujuan …………………………………………………………………….2
BAB II. Pembahasan
A. WAKALAH
1. Pengertian wakalah………………………………………………3
2. Dasar hukum wakalah……………………………………………3
3. Syarat dan rukun wakalah ……………………………………….5
B. SHULHU
1. Pengertian dan hukum shulhu……………………………………6
2. Rukun dan syarat shulhu…………………………………………8
3. Macam-macam shulhu…………………………………………...10
4. Hikmah shulhu…………………………………………………...11
BAB III. Penutup
A. Kesimpulan ……………………………………………………………13
B. Saran………………………………………………………………..…13

Daftar Pustaka……………………………………………………………14



BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Krisis global yang menghantam perekonomian nasional, ternyata tidak membuat lembaga keuangan syariah menurun yang justru semakin diminati masyarakat. Data dari Bank Indonesia menyebutkan, rata-rata pertumbuhan penyerapan pegawai bank syariah per tahun 22,8 persen. Jumlah kantor bank syariah pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 1430 dengan 16.516 pegawai. Kesempatan bagi sumber daya manusia (SDM) yang mengerti mengenai sistem keuangan syariah sangat terbuka lebar. Begitu pesatnya permintaan masyarakat terhadap layanan syariah sudah sepatutnya kita sebagai generasi sumber daya manusia harus siap menghadapi persoalan-persoalan yang akan kita hadapi dalam problematika syariah di masyarakat, terutama dalam bidang muamalah.
Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah. Karena masalah muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Latar belakang dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang ada dalam fiqih muamalah, mengenai Ash-shulhu (perdamaian). Karena di dalam perdamaian ini banyak hal yang dapat kita gali untuk menjadi tambahan ilmu serta wawasan, entah itu dari rukun, syarat, macam-macam, dan hikmah Shulhu itu sendiri.
Selain itu, kita sebagai umat islam patut mengetahui bahwa di dalam islam, perdamaian diperbolehkan, asalkan tidak merubah hukum (yang haram menjadi halal atau sebaliknya).
B. TUJUAN
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang Ash-shulhu (perdamaian) dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua serta untuk memenuhi nilai tugas Fiqih Siyasah dan Muamalah

























BAB II. PEMBAHASAN

A. WAKALAH
1. Pengertian wakalah
Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwidh. Contoh kalimat “aku serahkan urusanku kepada Allah” mewakili pengertian istilah tersebut. Namun dalam hal ini yang dimaksud al-wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.

2. Dasar hukum wakalah

Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusan sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
a. Al-Qur’an

Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut:
قا ل اجعلنى على خزا ئن الاء رض انى حفيظ عليم
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (Yusuf: 55)
Dalam hal ini, nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga Federal Reserve negeri Mesir.
Dalam surat al-Kahfi juga menjadi dasar al-wakalah yang artinya berikut:
“Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka agar saling bertanya, ‘Sudah berapa lamakah kamu berdiri di sini?’ Mereka menjawab, ‘Kita sudah berada di sini satu atau setengah hari.’ Berkata yang lain, ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada di sini. Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (al-Kahfi: 19).
Ayat di atas menggambarkan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.

b. Al-Hadits
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث اب رافع ورجلا من الا نصار فزو جاه ميمو نة بنت الحارث
“Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.”
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya membayar utang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.

c. Ijma

Para ulama sepakat dengan ijma dibolehkannya wakalah, bahkan mereka cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas kebaikan dan taqwa.
Dalam perkembangan fiqih Islam, status wakalah sempat diperdebatkan: apakah wakalah masuk dalam kategori niabah, yaitu sebatas mewakili atau kategori wilayah atau wali. Hingga kini, dua pendapat itu masih terus berkembang. Pendapat pertama menyatakan bahwa wakalah adalah niabah atau mewakili. Menurut pendapat ini wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi muwakkil.
Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah karena khilafah (menggantikan) dibolehkan untuk mengarah kepada yang lebih baik sebagaimana dalam jual bel, melakukan pembayaran secara tunai lebih baik walaupun diperkenankan secara kredit.
Dalam kehidupan perbankan, aktivitas wakalah adalah nasabah ataupun investor (muwakil) berhubungan timbal balik dengan bank (wakil) yang terikat dengan kontrak dan fee, sedangkan muwakil dimanfaatkan untuk taukil (agency, administration, payment, co arranger, dan sebaginya).

3. Syarat dan rukun wakalah
a. Rukunwakalah

Rukun wakalah terdiri atas ijab dari muwakil (pihak yang mewakilkan), dan qabul dari wakil. Ijab harus di ucapkan secara jelas oleh muwakil, sedangkan qabul tidak harus di ungkapkan, namun bisa di wujudkan dalam tindakan. Jika wakil mengetahui jenis pekerjaan yang diwakilkan, kemudian ia secara langsung melakanakannya, maka hal ini dianggap sebuah qabul, cukup mengetahui adanya wakalah dan diwujudkan dalam tindakan.

b. Syarat wakalah
• seorang muwakil, diisyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas suatu pekerjaan yang akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan alasan orang yang tidak memiliki otoritas tersebut kepada orang lain.
• Seorang wakil, disyaratkan haruslahorang yang berakal dan tamyiz.
• Obyek yang diwakilkan harus diketahui oleh wakil, wakil mengetahui secara jelas apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang diinginkan. Obyek tetrsebut memang bisa diwakilkan kepada orang lain.
B. SHULHU
4. Pengertian dan hukum shulhu
a. Pengertian Shulhu
Ash-Shulh berasal dari bahasa Arab yang berarti perdamaian, penghentian perselisihan, penghentian peperangan. Dalam kazanah keilmuan, ash-shulhu dikategorikan sebagai salah satu akad berupa perjanjian diantara dua orang yang berselisih atau berperkara untuk menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Dalam terminologi ilmu fiqih ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan antara orang-orang yang berselisih.

Misalnya seseorang menuduh orang lain mengambil suatu hak yang diklaimnya sebagai miliknya, lalu tertuduh mengakui karena ketidaktahuannya terhadap penuduh, kemudian tertuduh mengajak penuduh berdamai dengan tujuan menjauhi atau menghindari suatu permusuhan dan sumpah yang diwajibkan atas tertuduh yang menyangkal tuduhan.

Di dalam Ash-shulhu ini ada beberapa istilah yaitu: Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat Islam distilahkan musalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan di sebut musalih’anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk mengaklhjiri pertingkaian/pertengkaran dinamakan dengan musalih’alaihi atau di sebut juga badalush shulh

b. Hukum Shulhu
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri.
Adapun dasar hukum anjuran diadakan perdamaian dapat dilihat dalam al-qur’an, sunah rasul dan ijma.
Al-qur’an menegaskan dalam surat al-hujarat ayat 9 yang artinya “jika dua golongan orang beriman bertengkar damaikanlah mereka. Tapi jika salah satu dari kedua golongan berlaku aniaya terhadap yang lain maka perangilah orang yang aniaya sampai kembali kepada perintah Allah tapi jika ia telah kembali damaiakanlah keduanya dengan adil, dan bertindaklah benar. Sungguh Allah cinta akan orang yang bertindak adil (QS. Al-Hujurat : 9)”.
Mengenai hukum shulhu diungkapkan juga dalam berbagai hadits nabi, salah satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Tirmizi yang artinya “perdamaian dibolehkan dikalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang haram. Dan orang-orang islam (yang mengadakan perdamaian itu) bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Ibnu Hibban dan Turmuzi)”.
Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits di atas bahwa perdamaian merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran dasar keislaman. Untuk pencapaian dan perwujudan perdamaian, sama sekali tidak dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah tegas di dalam islam. Orang-orang islam yang terlibat di dalam perdamaian mesti mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak berisikan hal-hal yang mengarah kepada pemutarbalikan hukum; yang halal menjadi haram atau sebaliknya.
Dasar hukum lain yang mengemukakan di adakannya perdamaian di antara para pihak-pihak yang bersengketa di dasarkan pada ijma.
5. Rukun dan syarat shulhu
a. Rukun Shulhu
Adapun yang menjadi rukun perdamaian adalah:
1) Mushalih, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad perdamaian untuk menghilangkan permusuhan atau sengketa.
2) Mushalih’anhu, yaitu persoalan-persoalan yang diperselisihkan atau disengketakan.
3) Mushalih ’alaih, ialah hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut juga dengan istilah badal al-shulh.
4) Shigat ijab dan Kabul di antara dua pihak yang melakukan akad perdamaian.
Ijab kabul dapat dilakukan dengan lafadz atau dengan apa saja yang menunjukan adanya ijab Kabul yang menimbulkan perdamaian, seperti perkataan: “Aku berdamai denganmu, kubayar utangku padamu yang lima puluh dengan seratus” dan pihak lain menjawab “ Telah aku terima”.
Dengan adanya perdamaian (al-shulh), penggugat berpegang kepada sesuatu yang disebut badal al-shulh dan tergugat tidak berhak meminta kembali dan menggugurkan gugatan, suaranya tidak didengar lagi.
Apabila rukun itu telah terpenuhi maka perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa telah berlangsung. Dengan sendirinya dari perjanjian perdamaian itu lahirlah suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak untuk memenuhi / menunaikan pasal-pasal perjanjian perdamaian.
b. Syarat Shulhu
Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan kepada:
1) Menyangkut subyek, yaitu musalih (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian)
Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum. Selain cakap bertindak menurut hukum, juga harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum dan mempunyai kekuasaan atau wewenang itu seperti :
a. Wali, atas harta benda orang yang berada di bawah perwaliannya.
b. Pengampu, atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya
c. Nazir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang berada di bawah pengawasannya.
2) Menyangkut obyek perdamaian
Tentang objek perdamaian haruslah memenuihi ketentuan sebagai berikut :
a. Untuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga benda tidak berwujud seperti hak intelektual) yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserah terimakan, dan bermanfaat.
b. Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidak jelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru pada objek yang sama.
3) Persoalan yang boleh di damaikan
Adapun persoalan atau pertikaian yang boleh atau dapat di damaikan adalah hanyalah sebatas menyangkut hal-hal berikut :
a. Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat di nilai
b. Pertikaian menyangkut hal manusia yang dapat diganti
Dengan kata lain, perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah (hukum privat). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak ALLAH tidak dapat di lakukan perdamaian.
3. Macam-macam Shulhu
Secara garis besar ash-shulhu terbagi atas empat macam, yaitu:
a) Perdamaian antara kaum muslimin dengan masyarakat nonmuslim, yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu (dewasa ini dikenal dengan istilah gencatan senjata), secara bebas atau dengan jalan mengganti kerugian yang diatur dalam undang-undang yang disepakati dua belah pihak.
b) Perdamaian antara penguasa (imam) dengan pemberontak, yakni membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan-peraturan mengenai keamanan dalam Negara yang harus ditaati, lengkapnya dapat dilihat dalam pembahasan khusus tentang bughat.
c) Perdamaian antara suami dan istri dalam sebuah keluarga, yaitu membuat perjanjian dan aturan-aturan pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
d) Perdamaian antara para pihak yang melakukan transaksi (perdamaian dalam mu’amalat), yaitu membentuk perdamaian dalam mesalah yang ada kaitannya dengan perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masalah ma’amalat.
4. Hikmah Shulhu
Dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi antara ummat manusia, Islam telah memberikan beberapa konsep dasar untuk membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi. Penyelesaian masalah ini dapat melalui shulhu (perdamaian).
Imam Ash-Shan’ani menerangkan hadits di atas dengan berkata :
قَدْ قَسَّمَ الْعُلَمَاءُ الصُّلْحَ أَقْسَامًا، صُلْحُ الْمُسْلِمِ مَعَ الْكَافِرِ، وَالصُّلْحُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَالصُّلْحُ بَيْنَ الْفِئَةِ الْبَاغِيَةِ وَالْعَادِلَةِ وَالصُّلْحُ بَيْنَ الْمُتَقَاضِيَيْنِ وَالصُّلْحُ فِي الْجِرَاحِ كَالْعَفْوِ عَلَى مَالٍ وَالصُّلْحُ لِقَطْعِ الْخُصُومَةِ إذَا وَقَعَتْ فِي الْأَمْلَاكِ وَالْحُقُوقِ وَهَذَا الْقِسْمُ هُوَ الْمُرَادُ هُنَا وَهُوَ الَّذِي يَذْكُرُهُ الْفُقَهَاءُ فِي بَابِ الصُّلْحِ
“Para ulama telah membagi ash-shulhu (perdamaian) menjadi beberapa macam; perdamaian antara muslim dan kafir, perdamaian antara suami isteri, perdamaian antara kelompok yang bughat dan kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang bertahkim kepada qadhi (hakim), perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk memberikan sejumlah harta kepada lawan sengketa jika terjadi pada harta milik bersama (amlaak) dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para fuqoha pada bab ash-shulhu (perdamaian).” (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 4/247).
Secara ringkas hikmah ash-shulhu dapat mengakibatkan penyelesaian suatu masalah dengan jalan yang sama-sama adil bagi kedua belah pihak dan tetap berada dijalan allah serta syariat islam. Serta melindungi seorang muslim dari penyakit hati terutama iri dan dengki juga menghindari seseorang dari sikap curiga terhadap lawannya dalam suatu sengketa atau masalah.


















BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan

Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwidh. Contoh kalimat “aku serahkan urusanku kepada Allah” mewakili pengertian istilah tersebut. Namun dalam hal ini yang dimaksud al-wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
Ash-Shulh berasal dari bahasa Arab yang berarti perdamaian, penghentian perselisihan, penghentian peperangan. Dalam kazanah keilmuan, ash-shulhu dikategorikan sebagai salah satu akad berupa perjanjian diantara dua orang yang berselisih atau berperkara untuk menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Dalam terminologi ilmu fiqih ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan antara orang-orang yang berselisih.
B. Saran
Makalah ini di susun dengan pembahasan yang mudah, di harapkan para pelajar atau pembaca dapat memahaminya .
Kami tahu pembahasan di makalah ini kurang begitu lengkap. Sehingga kami menyarankan pembaca untuk mencari buku, kitab atau bahan bacaan lain yang menjelaskan tentang masalah wakalah dan shulhu yang lebih luas . dan semoga makalah ini bermanfaat.




DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman al Gharyani. Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer. Surabaya: Pustaka Progresif. 2004

Ilmi, makhalul. Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah. Yogyakarta: UII Press. 2002

Syafi’I Antonio, Muhammad. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press. 2001

Syaikh Jabir al-Jaza’iri, Abu Bakar. 2008. Minhajul Muslim. Jakarta : Darul Haq.
Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.